Jakarta - Isu kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 memanaskan perdebatan politik. Keputusan yang berlandaskan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), disahkan DPR pada 7 Oktober 2021 itu, kembali menjadi sorotan terkait pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kebijakan ini.
Dalam rapat paripurna DPR RI, Kamis (5/12/2024), politikus PDIP, Rieke Diah Pitaloka, meminta Presiden Prabowo Subianto membatalkan rencana kenaikan tersebut. Ia menyebut langkah ini bisa menjadi "kado tahun baru" bagi rakyat.
"Dengan rendah hati, saya rekomendasikan menunda atau membatalkan kenaikan PPN 12 persen sesuai amanat UU Nomor 7 Tahun 2021," ujar Rieke, seraya mendorong penerapan sistem self-assessment dalam tata kelola perpajakan sebagai solusi untuk meningkatkan penerimaan negara sekaligus memberantas korupsi.
Namun, pernyataan Rieke memicu tanggapan keras dari Fraksi Gerindra. Anggota Komisi XI DPR RI, Wihadi Wiyanto, menyebut bahwa UU HPP merupakan hasil inisiatif pemerintahan Presiden Jokowi dan didukung penuh oleh PDIP yang memimpin panitia kerja (panja) pembahasan UU tersebut.
"Kenaikan PPN adalah amanat UU HPP yang diinisiasi PDIP. Jadi, menyudutkan pemerintahan Prabowo atas kebijakan ini tidak tepat," kata Wihadi, Minggu (22/12/2024). Ia menambahkan, Presiden Prabowo berupaya melindungi masyarakat menengah bawah dengan menerapkan kenaikan hanya pada barang mewah.
PDIP vs Gerindra: Saling Lempar Tanggung Jawab
Waketum Gerindra, Rahayu Saraswati, juga heran dengan sikap PDIP yang kini menolak kenaikan PPN. "Mereka dulu memimpin panja UU HPP. Kalau sekarang menolak, kenapa tidak dilakukan saat pembahasan dulu?" kata Sara.
Di sisi lain, PDIP melalui Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie Othniel Frederic Palit, menegaskan bahwa UU HPP adalah inisiatif pemerintah Jokowi pada 2021. Ia menjelaskan, delapan fraksi, termasuk PDIP dan Gerindra, menyetujui pengesahan UU tersebut.
Dolfie mengingatkan bahwa tarif PPN bisa diubah dalam rentang 5-15 persen sesuai kondisi ekonomi. Ia pun memberi masukan agar kenaikan PPN dibarengi peningkatan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi berkualitas, dan perbaikan layanan publik.
Persoalan Ekonomi di Balik Kenaikan PPN
Kenaikan PPN 12 persen yang dijadwalkan berlaku 2025 memicu kritik karena dinilai berisiko memperburuk daya beli masyarakat. Namun, para pendukung kebijakan ini menyebutnya sebagai langkah strategis untuk meningkatkan pendapatan negara.
Wihadi menilai langkah Presiden Prabowo sudah bijaksana. "Beliau memastikan dampak kenaikan PPN terhadap masyarakat menengah bawah tetap minimal," tegasnya.
Di tengah perdebatan ini, publik menanti keputusan akhir Presiden Prabowo terkait kebijakan ini, apakah akan dilanjutkan atau ditunda sesuai desakan berbagai pihak. ***
Sc: detik.com